Selasa, 17 Januari 2023

CERPEN SATU MALAM

ELEGI PUNCAK RINJANI

Oleh : Niha JME

 

“Tolong siapapun beri pemahaman kepada Arjuna perihal kenapa manusia senang memilih jalan sulit untuk dijadikan tempat bersandar”. Terdengar jelas kalimat tersebut, seolah-olah memberi satu pesan.

Arjuna paham betul seberapa tinggi puncak Agung. Ia tidak bodoh untuk mengetahui fakta tersebut. Tapi, bukankah semakin tinggi puncak, maka semakin besar peluang kelelahan, sakit dan keselamatan terancam.

Lebih baik mendaki puncak yang lebih rendah, bukan? Mengapa Rinjani mau bersusah payah jika sudah ada puncak Arjuna, padahal di puncak Arjuna sudah ada yang membersihkan jalurnya, supaya mudah dilalui Rinjani.Jawabannya hanya satu.. Puncak Agung menjanjikan pemandangan yang jauh lebih indah dibanding Puncak Arjuna.

Saat itu Arjuna melamunkan dirinya sendiri dan kehidupannya. Arjuna menempatkan posisinya seperti nama-nama gunung yang ada di Indonesia, fikirannya terus melayang kemana-mana.

Kini  Arjuna berpikir apakah kedatangannya disini adalah bentuk kesalahan, seharusnya dia turuti saja kata bromo, harusnya dia hanya perlu menunggu dan tak berlebihan. Karena kini di hadapannya malah pemandangan mematahkan hati lainnya.

Tiba-tiba lamunannya pecah, disebabkan suara gelak tawa yang berasal dari salah satu tempat dimana Arjuna berada. Dikejauhan,tampak sebuah meja, Arjuna melihat jelas dengan mata kepalanya sendiri, ada Rinjani serta teman-temannya yang bertukar tawa, tapi ada satu orang yang begitu mengganggu perasaan Arjuna. Ada Agung yang duduk tak jauh dari Rinjani.

Bukankah Rinjani bilang padanya bahwa tak akan ada Agung disana.Tapi mengapa malah ada Agung disana dan tertawa dengan teman-teman Rinjani seolah mereka akrab. Tanya Arjuna dalam hati

“Sialan.” Umpatan itu kelua dari mulut Arjuna. Tangannya mulai terkepal kuat, membuat ujung kukunya menancap pada telapak tangan, membuat bekas merah Sangat menyedihkan kondisi Arjuna.

Tak ada cara lain. Ia ambil gawainya di kantong jaket leather hitamnya, menghubungi nomor yang ia kenal baik di luar kepala, nomor Rinjani. Jika Rinjani berbohong atau melakukan tindakan yang memicu sakit hatinya semakin parah. Maka semuanya berakhir, persis yang ia katakan kepada temannya kemarin.

“Rinjani please, angkat dan jangan bohong.” Gumamnya.

Arjuna berharap kalau Rinjani tidak akan menyakiti hatinya. Dia tidak mau melepas Rinjani begitu saja, hal itu dilakukan hanya demi menyelamatkan kewarasannya yang semakin gila rasanya.

Diseberang sana Arjuna melihat Rinjani yang mulai berhenti bercakap, fokusnya teralih pada gawai yang terletak di atas meja. Cukup lama Rinjani membiarkan telepon itu terus berdering, membuat teman-temannya mulai berhenti bercakap, menatap Rinjani terheran-heran.

“Eh sorry, aku angkat telepon dulu.” Ucap Rinjani dengan tersenyum canggung

“Ok…silahkan”. Jawab teman-temanyya

Rinjani beranjak dari duduknya. Sedangakn Arjuna menghela nafas lega kerna melihat Rinjani mengangkat telfonnya.

“Halo.” Sapa Arjuna

“Rinjani, ini sudah malam. Kamu belum pulang ke kos?” Tanya Arjuna.

Tidak ada jawaban, hanya hela nafas yang terdengar ditelinga, Arjuna melihat punggung sempit Rinjani yang membelakangi dirinya melemas lelah

 “Nanti aku pulang, sayang. Tapi tidak sekarang.” Jawab Rinjani

“Kamu selalu ngantuk di jam segini. Bahaya kalau nyetir sendiri. Aku jemput aja, ya?Ungkap Arjuna.

“nggak usah. Aku bisa sendiri, kalaupun aku ngantuk ada temanku yang bisa diminta tolong. Kamu istirahat aja, Juna.” Jawab Rinjani

“Kabarin kalau sudah selesai, nanti aku ke tempat kamu secepat kilat.” Ucap Arjuna tidak memperdulikan penolakan Rinjani.

“ Ngomong-ngomong Teman mana yang Rinjani maksud? Tanya Arjuna

“ Teman biasa atau teman yang sempat jadi kenangan indah? Tanyanya lagi

“Teman yang mana?” Desak Arjuna

Decakan kesal Rinjani menyapa rungu Arjuna, bikin cowok itu tersenyum miris, “Temanku yang datang banyak. Ada tujuh orang.” Ucap Rinjani.

Arjuna hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Rinjani.

“Tujuh orang apanya? Jawab Arjuna lagi.

Percakapan mereka berhenti sejenak. Arjuna Berfikir, Mereka bersembilan di sana jika ditambah presensi Rinjani dan Agung. Alih-alih berkata delapan orang, mengapa Rinjani berkata tujuh? Anak itu bohong. Lagi. Ungkap Arjuna dalam benaknya.

Atas kesadaran penuh, Arjuna temukan dirinya sudah kepalang lelah. Waktu yang ia gunakan untuk menaruh hati pada Rinjani, waktu dia untuk menunggu Rinjani dan waktu yang ia habiskan untuk terus memberi Rinjani cinta sudah habis sebelum waktunya. Rinjani-lah yang membuat lelah itu datang lebih cepat.

Arjuna sadar jika amarahnya sudah tak terbendung, gawai ia genggam semakin erat, rahangnya mulai mengeras.

 “Pulang sekarang, Rinjani.” Ucapnya dengan nada keras namun tertahan.

“Tapi…” Jawab Rinjani dengan ragu

“Aku bilang pulang ya pulang, apa kamu tidak dengar?” Teriaknya.

Suara Arjuna membuat Rinjani terkesiap dan membeku.

Kenapa  Arjuna mendadak berteriak padanya, hal yang tidak pernah Arjuna lakukan pada Rinjani, bahkan meninggikan suara saja laki-laki itu tidak pernah. Rinjani merasakan jantungnya mulai mencelos, berbohong bukanlah tindakan yang Arjuna suka, dan Rinjani baru saja melakukan itu. Tapi harusnya Arjuna tak tahu bukan? Gumam Rinjani

“Aku di parkiran,” Seolah menjawab pertanyaan Rinjani,

“Pulang sekarang!” Ucapnya lagi.

Arjuna terus berkata tanpa mendengar jawaban Rinjani

“Aku antar, kamu tahu kan aku benci pembohong.?” Tanya Arjuna Lagi masih melalui telfon.

Nada itu terkesan dingin. Tak ada bantahan yang keluar dari mulut Rinjani, Sedangkan Arjuna hanya tertawa kecil, dia menertawakan kebodohannya yang tak berujung, dia menaruh harapan begitu besar pada Rinjani, tetapi hasilnya nihil.

“Juna, tolong dengarkan aku dulu ya". Rengek Rinjani ketika mereka sudah berada di dalam mobil

 Rinjani tidak berhenti memohon untuk mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu, sedangkan Arjuna hanya terus melihat ke depan, telinganya mendadak tuli ketika mendengar suara rengekan Rinjani.

Jalan raya malam itu tidak terlalu padat, masih ada kendaraan yang berlalu-lalang. Hembusan udara dari air conditioner mobil bikin Rinjani sedikit menggigil, tapi walaupun begitu tetap tidak bisa menutupi fakta kalau saat itu suasana hati mereka panas, karena ada perasaan menyesakkan. Tetapi Rinjani masih beruntung, karena hembusan angin pada malam itu, sehingga membuat sejuk suasana ruangan dalam mobil  

Dengan kecepatan normal, Arjuna berusaha mati-matian untuk tidak lepas   kendali, dengan memijak pedal gas di bawahnya sekuat mungkin. Arjuna juga pegang setir mobil kuat-kuat, hingga urat-urat tangannya terlihat jelas, rahangnya yang mengeras.

Mobil terus melaju normal, dikegelapan malam itu Rinjani sadar kalau Arjuna tunjukkan ekspresi yang luar biasa terluka, hal itu membuat Rinjani makin pusing karena rasa bersalah.

Selama di perjalanan itu, Arjuna tidak membuka mulutnya sama sekali. Ketika mobil itu berhenti di depan kos, ketika Arjuna turun dan membukakan pintu mobil untuk Rinjani, ketika tangan besar Arjuna megang tangan kecil Rinjani dan tatap tangan kecil itu dengan waktu yang lama, tetap tak ada satu katapun yang keluar.

“Juna maaf…”

Arjuna makin terluka dibuatnya, "Kenapa kamu selalu sakiti aku, Rinjani?” Arjuna balas ucapan maaf Rinjani dengan suara bergetar.

Mendengar  suara Arjuna yang bergetar itu, membuat Rinjani bungkam. Dia beranikan buat pegang tangan Arjuna yang mengepal kuat disana,

“Tolong maafin aku.”, ucap Rinjani

“Lepaskan, Aku capek.” Balas Arjuna dengan nada ketus

Tidak ada keramahan dari tiap kata yang keluar. Arjuna merasa lelah sekali, energinya terkuras habis hanya untuk Rinjani, begitu tinggi dan jauh untuk menggapai Rinjani. Tanpa banyak kata Arjuna melepaskan  tangan Rinjani dan kembali ke dalam mobil.

Arjuna terlanjur lelah dan Rinjani baru menyadarinya malam itu semuanya sudah terjadi. Arjuna merasa kalau semua ini adalah salahnya, seharusnya ia tidak banyak menaruh rasa cintanya pada Rinjani, yang jelas bagi dia, puncaknya amat tinggi untuk dilalui.

 

*Penulis adalah Anggota Jurnalistik MAN 4 Banyuwangi Kelas XI MIPA 3

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar